Oleh: Indra Gunawan, Peneliti di Riset Inovasi Daerah Indonesia (RiDI)
(Dumai)-Di sudut persimpangan Jalan Arifin Ahmad, Kelurahan Mundam, Kecamatan Medang Kampai, Kota Dumai, Provinsi Riau, berdiri sebuah monumen yang kerap disebut masyarakat tempatan sebagai Tugu Perahu atau Tugu Mundam. Bagi sebagian orang, tugu ini mungkin hanya sekadar penanda jalan. Namun, bagi yang mau menelusuri sejarahnya, tugu ini mencerminkan perjalanan politik, militer, dan identitas lokal Kota Dumai pada sebuah era penting dalam sejarah Indonesia.
Tugu ini diresmikan oleh Panglima ABRI Feisal “Edno” Tanjung, seorang Jenderal dari Matra Angkatan Darat, pada pertengahan 1990-an. Ketika itu kekuatan militer tidak hanya mengatur pertahanan negara, tetapi juga memberi pengaruh kuat dalam percaturan politik, pembangunan daerah, hingga disain dan pembentukan identitas publik. Fakta bahwa seorang Panglima ABRI meresmikan monumen ini mengindikasikan pesan yang kuat dan tegas, bahwa keberadaannya sarat dengan makna dan pesan strategis. Pemilihan titik lokasi tugu ini di Mundam sebuah dusun tua di Kota Dumai tentu juga memiliki pertimbangan mendalam yang turut melatarbelakanginya. Bahkan saat ini secara resmi Markas Group III Kopassus Sandi Yudha, Pasukan Elite TNI yang paling disegani telah berkedudukan di Kota Dumai.
Pada era 90-an ketika Tugu Mundam diresmikan, Kota Administratif Dumai berkembang pesat sebagai gerbang strategis di jalur Selat Melaka, dengan posisi geopolitik yang sensitif. Gubernur Riau saat itu dijabat oleh Soeripto (1998–2003), seorang purnawirawan militer yang melanjutkan kepemimpinan seniornya di ,Angkatan Darat H.R. Soebrantas. Estafet kepemimpinan dari Soebrantas kepada Soeripto menandai keberlanjutan dominasi militer dalam kepemimpinan daerah — dan menjadi ciri khas Orde Baru yang menjadikan birokrasi daerah sebagai perpanjangan tangan kebijakan pusat, sekaligus wahana bagi penguatan agenda strategis pertahanan dan keamanan.
Dalam perspektif ini, Tugu Perahu Mundam bukan semata hanya ornamen estetika kota. Lebih jauh, ia merepresentasikan simbol pengawasan dan kehadiran negara pada koordinat paling strategis yaitu perairan Riau. Selain itu, Tugu Mundam juga menegaskan identitas maritim yang kental melekat pada sejarah Melayu pesisir, di mana perahu adalah simbol mobilitas, perdagangan, dan kekuatan komunitas. Kebedaraan tugu ini dapat pula disebut sebagai warisan politik Orde Baru, di mana pembangunan fisik sering kali dipadukan dengan pesan militerisme halus untuk meneguhkan wibawa negara.
Namun kini, banyak generasi muda yang hanya mengenalnya sebagai “tugu perahu” tanpa memahami latar belakang historis dan makna strategisnya. Narasi resmi monumen ini semakin buram akibat minimnya dokumentasi dan arsip publik sehingga membuka ruang bagi tafsir liar atau bahkan hilangnya memori kolektif masyarakat terhadap esensi keberadaan Tugu Perahu Mundam.
Hal ini tak dapat hanya dipandang sekedar persoalan sejarah semata, namun juga menyangkut aset sosial-ekonomi. Jika narasinya dipulihkan, Tugu Perahu Mundam sangat mungkin menjadi ikon wisata sejarah, titik edukasi budaya, dan bahkan simbol diplomasi maritim Riau di mata nasional dan bahkan internasional, dimana nilai Potensi ekonomi kreatif dari pengelolaan narasi sejarah ini dapat berkontribusi menyumbangkan pendapatan asli daerah seperti dari kegiatan tur edukasi, festival maritim seperti hari laut sebagai hari libur lokal, kolaborasi riset universitas, bahkan hingga pada pemungutan nilai pajak di Selat Malaka terhadap dampak eksternalitas dari aktifitas pelayaran terpadat di dunia.
Hal ini tentu menjadi tantangan bagi masyarakat Kota Dumai ke depan, agar mendokumentasikan sejarah seperti Tugu Perahu Mundam secara komprehensif, bahkan dari sumber-sumber lisan dan arsip tidak resmi. Pada sisi Pemerintah, pelibatan partisipasi masyarakat lokal dalam perawatan dan membangun ulang narasi keberadaan tugu ini juga adalah hal yang sangat penting agar maknanya dapat kembali hidup dan bukan hanya sekadar dekorasi pinggir jalan.
Pemerintah Kota dapat pula mengIntegrasikannya sebagai strategi branding kota, sehingga Dumai tidak hanya dikenal sebagai kota industri migas, tetapi juga sebagai simpul peradaban maritim dunia.
Pada akhirnya memang Tugu Perahu Mundam mengajarkan kita bahwa sebuah monumen tidak akan pernah netral. Ia merupakan cermin dari sebuah legitimasi kekuatan politik, kepentingan strategis, dan identitas yang ingin diwariskan. Tugas generasi saat ini adalah memastikan warisan itu tidak hanya menjadi bangunan usang dan lapuk tak sedap dipandang mata, tetapi dapat hidup dalam kesadaran kolektif masyarakat, mampu memberi inspirasi, dan menjadi pijakan bagi masa depan Kota Dumai yang lebih bermartabat.
*(Erwan/MaS)